Ternyata Susah Mencari Orang yang Berhak dijadikan Public Figure

Sambas, Ahad, 27 Januari 2013
by SAMBAS INDEPENDEN

Pembaca yang budiman.

Pemimpin adalah satu atau dua orang yang menjadi "nakhoda", bisa tua, bisa muda. Sedangkan tokoh-tokoh masyarakat adalah kumpulan "orang terpandang" yang jumlahnya jamak, mereka bukan "nakhoda" tetapi mereka terdepan di dalam masyarakat, yang turut menjadi penentu arah, kemana "kapal mereka hendak dibawa berlayar oleh nakhoda". Mereka yang terakhir ini lebih berpeluang memberikan social control kepada "nakhoda", lebih punya akses untuk menashihati "nakhoda" dibanding rakyat jelata.

Kedua komponen masyarakat di atas itu lah yang lebih umum disebut public figure.

Lalu siapa yang berhak untuk di-public figure-kan dalam suatu masyarakat? Dalam artian, siapa yang berhak untuk dijadikan "nakhoda" dan tokoh-tokoh masyarakat yang mengontrolnya? Ternyata dalam hal ini, ada banyak tawaran yang berkembang di dalam masyarakat tentang siapa yang lebih berhak.

Pada artikel ini, kita "tendang" saja pendapat-pendapat "nyeleneh" yang berkembang di masyarakat tentang siapa yang lebih berhak, misal yang paling jago, yang paling preman dan pendapat-pendapat aneh lainnya. Kita buang jauh-jauh pendapat-pendapat itu. Kita hanya mengambil pendapat-pendapat yang masih masuk akal.

Ada yang mengatakan, yang lebih berhak menjadi public figure adalah orang pintar, dengan alasan bahwa ketika mereka memimpin dan menjadi tokoh-tokoh nantinya bisa me-manage alias mengurus negeri sebaik-baiknya. Masuk akal memang. Tapi celakanya, kebanyakan orang yang pintar, ternyata pintar segalanya, pintar memimpin, juga pintar menipu. Orang ini tidak layak memimpin.

Ada yang mengatakan, yang lebih berhak menjadi public figure adalah orang yang bijak, dalam artian suka sekali membuat kebijakan, hal ini dibuat kebijakan, hal itu dibuat kebijakan. Semuanya kebijakan. Akhirnya kebanyakan kebijakan, jadi tidak bijak lagi namanya. Orang kedua ini juga tidak layak.

Ada yang mengatakan, yang lebih berhak menjadi public figure adalah orang jujur, dengan alasan bahwa ketika mereka memimpin dan menjadi tokoh, nantinya bisa jujur, tidak tergiur dengan uang. Anggapan kelompok yang mengajukan ini juga ada benarnya, dan masuk akal. Tapi orang yang cuma punya sifat jujur, kebanyakannya dari mereka itu juga punya sifat yang polos, naif, lemah, mudah ditipu, dan mudah ditikam dari belakang. Dan dalam kondisi tertipu sekalipun, mereka masih sabar, dan tulus. Akhirnya mereka yang menipu semakin menipu, memanfaatkan kondisi yang ada. Kesempatan emas buat mereka, menjadikan si jujur ini jadi kendaraan, jadi tameng, jadi tumbal semata. Orang ketiga ini sebaiknya cepat sadar kalau dia sedang jadi kendaraan politik. Pikirkan diri Anda sendiri dan rakyat yang sedang kena tipu. Lebih baik cepat-cepat mundur, jikalau sudah terlanjur. 

Ada yang mengatakan, yang lebih berhak adalah orang yang sudah kaya, dengan alasan bahwa ketika mereka memimpin atau menjadi tokoh-tokoh masyarakat nantinya tidak tergiur lagi dengan yang namanya uang. Mereka kan sudah banyak uang, tak perlu lagi "curang", sebab ujung-ujungnya ketika menjadi pemimpin yang diurus itu adalah uang. Anggapan kelompok yang menawarkan ini relatif ada benarnya, dan sedikit masuk akal. Tapi apakah ada yang menjamin, bahwa harta-harta yang mereka miliki itu bisa jadi penghalang bagi mereka untuk tidak berbuat "curang"? Kita kira, tidak ada yang bisa menjamin. Sebab, sudah jadi tabiat dari anak-cucu Adam, kalau dia punya emas sebanyak dua lembah, pasti dia mencari yang ketiganya (HR. al-Bukhari dan Muslim). Yaitu dengan kata lain sifat manusia yang rakus, tamak, dan loba.
Kalangan orang yang keempat ini dirinci:
Pertama, jikalau Anda sebelum terjun sudah dinilai orang lain sebagai orang baik-baik, punya track record yang baik, tidak berbuat hal yang tidak-tidak, sebaiknya Anda lebih baik jangan mau untuk diperangkap, dan jangan tergiur tawaran-tawaran muluk dari orang-orang yang notabene ingin menjadikan Anda tunggangan, ingin menumpang suara dengan kekayaan Anda. Sebab nanti bisa-bisa dia mengerok habis harta Anda.
Kedua, jikalau Anda sebelum terjun sudah tidak bagus track record-nya, bagaimana nanti kalau Anda memimpin, bisa semakin rakus dan tidak terkendali nantinya. Anda tidak layak untuk memimpin. 

Yang terakhir, ada pula yang mengatakan, yang lebih berhak menjadi pemimpin adalah orang yang bertaqwa, berakhlaqul karimah, dan tinggi ilmu agamanya. Kita pasti sepakat, sebenarnya mereka inilah yang sangat-sangat layak untuk dijadikan pemimpin, apalagi dia punya skill individu dan seni dalam memimpin yang cukup, tapi kebanyakan dari mereka ini tidak mau.
Mereka memberikan dua alasan, yang pertama, berdasarkan keikhlasan, keilmuan, dan kehati-hatian, mereka sangat jarang yang mau disuruh mendaftar jadi pemimpin,  sebagai akibat sistem demokrasi yang mempersyaratkan bahwa kalau ingin memimpin harus mendaftar dulu, yang berarti sama dengan meminta jabatan. Dia paham betul tentang larangan dari hukum syara' tentang meminta jabatan.
Yang kedua, dia tahu apa konsekuensi menjadi pemimpin pada saat-saat ini. Terlalu banyak "PR", dan tugas yang harus dipecahkan, serta terlalu banyak musuh yang dihadapinya di "balantika" politik nantinya. Dia takut kalau-kalau dia tidak mampu mengemban amanah dan akhirnya jadi penyesalan di akhirat kelak.

Jadi tidak ada dari kategori orang-orang di atas yang lebih berhak memimpin negeri karena semuanya dikategorikan tidak layak atau mereka tidak mau.

Akhirnya yang jadi pemimpin dan tokoh-tokoh masyarakat adalah orang-orang yang paling berambisi untuk berkuasa, dan mereka ini yang paling bagus trik dan starateginya dalam meraih suara rakyat, meskipun ditempuh dengan cara-cara yang tidak dibenarkan oleh agama.

Apa jadinya negeri ini ... G A L A U kata orang sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar