Kerinduan yang Mendalam dengan Bangkitnya Kembali Kemajuan Pendidikan Keislaman di Kota Sambas (Bag. I)

Bagian I. 
Sinyalir Episode Marjinalisasi dan Pengkerdilan Pendidikan Islam di Kota Sambas

Sambas, Ahad, 20 Januari 2013

by SAMBAS INDEPENDEN

Barangkali, sekarang orang-orang di luar sana tak kenal lagi bahwa dulu Sambas adalah kota pendidikan Islam termasyhur di Kalimantan Barat. Bahkan ketidakkenalan ini juga hinggap bagi tunas-tunas baru dari generasi yang tinggal di kota Sambas sekarang.

Dalam salah satu karya beliau, (Allahu Yaryamhu) Bapak Profesor Mahmud Yunus, tepatnya di buku SEDJARAH PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA terbitan Pustaka Mahmudiah Djakarta tahun 1960 M - 1379 H, buku setebal 368 halaman yang memaparkan perjalanan sejarah pendidikan keislaman di bumi Nusantara ini. Di halaman yang ke-297 beliau paparkan tentang Pendidikan Islam di Kalimantan Barat.

Madrasah jang tertua di Kalimantan Barat ialah : Madrasatun Nadjah wal Falah di Sei Bakau Besar Mempawah, didirikan kira-kira tahun 1918 M. Kemudian berdirilah beberapa madrasah di-kota2, bahkan sampai ke-dusun2, berupa madrasah2 Ibtidaiah dan Tsanawijah.

Beliau sebutkan selanjutnya bahwa :

Diantara madrasah2 jang masjhur ialah : 
Madrasah Perguruan Islam (Assultaniah) di Sambas (P.I. tahun 1922 M.).
Madrasah ini salah satu madrasah jang tertua di Kalimantan Barat, didirikan di Sambas pada tahun 1922 M. Kemudian diubah namanja dengan : Tarbijatul Islam. Lama peladjarannja 5 tahun (V kl.) dan ditambah 1 tahun lagi untuk kursus vak agama.
Jang diterima masuk di madrasah ini ialah murid2 tamatan SR 5/6 tahun.
Ketua pengurus madrasah Perguruan Islam ialah :
H.M Basjuni Imran, seorang ulama besar di Sambas dan kepala madrasah ialah H. Abd. Rahman.
Peladjaranja ialah ilmu2 Agama dan ditambah dengan pengetahuan umum sebagai berikut :
1. Nahu
2. Sharaf
3. Insja'
4. Bahasa Arab
5. Tafsir
6. Hadits
7. Fiqhi
8. Usul
9. Tarich
10. Berhitung
11. Ilmu Bumi
12. Ilmu Alam
13. Imu Tumbuh2an
14. Kesehatan
15. Ilmu Ukur
16. Achlak
17 Gerak Badan
18. Quran
19. Terdjemah
      (Rentjana tahun 1953).
Demikian admin nukilkan lengkap dengan gaya bahasa yang dianut bangsa Indonesia saat itu.

Ada beberapa hal dan informasi yang penting berkaitan dengan hal di atas :

1. Sultan van Sambas yang memerintah saat pertama kali madrasah itu didirikan adalah Sulthan Muhammad Tsafiuddin II yang sangat masyhur itu.

2. Ada pendapat lain bahwa Madrasah Sultaniah didirikan tahun 1916 M. Dengan demikian merujuk pendapat ini madrasah yang tertua di Kalimantan Barat adalah Madrasah Sultaniah ini, dan bukan Madrasatun Nadjah wal Falah di Sei Bakau Besar Mempawah, didirikan kira-kira tahun 1918 M.

Kami nukilkan sebagai berikut :
Pada 1871 didirikan sekolah partikuler, mulanya yang belajar di sekolah ini adalah kerabat keluarga Kesultanan Sambas. Pada 9 September 1903 M dengan besluit kolonial didirikan Sekolah Bumiputera Kelas II. Semakin banyak rakyat Sambas yang ingin memperoleh pendidikan di sekolah, sehingga sekolah ini tidak dapat lagi menampung siswa. Untuk mengatasi hal itu dengan besluit Gouvernemen Belanda 1 Desember 1910 M didirikan sekolah Special School yang kemudian 1915 sekolah ini menjadi HIS. Setahun kemudian, 1916, Sultan Muhammad Tsafiuddin II mendirikan sekolah bernafaskan Islam dengan nama Madrasah Sulthaniah. 
(sumber : http://restorasiborneo.blogspot.com/2011/07/sultan-muhammad-tsafiuddin-ii-raden.html)

3.Dari namanya saja Madrasah Perguruan Islam (Assultaniah) yang lebih dikenal saat itu sebagai Madrasah Sultaniah, dapat admin artikan dengan Sekolah untuk mencetak tenaga guru-guru Agama Islam yang bersifat resmi dari kesultanan, dan lokasinya yang sudah termasyhur di kalangan orang-orang tua kita, berada di lingkungan Istana Kesultanan, tepatnya kira-kira di sebelah timur bangunan Masjid Agung Jami' Sulthan Muhammad Tsafiuddin II, menunjukkan ianya merupakan wujud nyata dari titah dan mandat langsung dari Sulthan saat itu. 
Menunjukkan juga beliau sangat perhatian terhadap kondisi keislaman rakyatnya dengan  upaya beliau menyelenggarakan pemerintahannya didukung sepenuhnya oleh kaum Agama, karena sebagaimana informasi yang diperoleh admin, siswa-siswa yang ada pada Madrasah Sultaniyah itu adalah berasal dari kampung-kampung se Kesultanan Sambas yang kelak akan kembali ke kampung halamannya mengajarkan Agama Islam, atau minimalnya siswa-siswa berbakat yang nantinya diutus ke kampung-kampung.

4. Asas profesionalitas dalam pendidikan Islam amat begitu kental terasa, ketika kita melihat yang ditunjuk menjadi Ketua pengurus madrasah tersebut adalah ulama besar dari Sambas, Maharaja Imam Sambas sendiri pada saat itu yaitu HM. Basuni Imran yang pernah diutus untuk rihlah (mengadakan perjalanan) dalam rangka menuntut ilmu agama, belajar di negeri Mesir. Beliau salah seorang anak murid Muhammad Rasyid Ridha murid Muhammad Abduh, dua tokoh ternama Mesir.

5. Fase berikutnya, dalam tulisan Mahmud Yunus di atas belum didapatkan informasi lengkap kapan dan apa sebab yang mendasar, sehingga Madrasah Perguruan Islam (Assultaniah) yang berlokasi di pusat pemerintahan, yakni di lingkungan istana kesultanan kemudian dipindah dan diganti nama menjadi Tarbijatul Islam lebih dikenal dengan Sekolah Tarbiyah berlokasi di Kampung Angus saat itu (sekarang Desa Tanjung Bugis). 

Menurut Machrus Effendy dalam bukunya Riwayat Hidup Dan Perjuangan Maharaja Imam Sambas, tahun 1995, disebutkan bahwa pada tahun 1935 Madrasah Assultaniah yang dibangun berhadapan dengan masjid Jami' karena sudah sempit menampung santri yang semakin banyak, dipindahkan ke Kampung Angus dan diganti namanya menjadi Tarbiyatul Islam Sambas.

Pertanyaan mendasar pertama di benak kita: Apakah dua langkah ini yakni memindahkan lokasi pendidikan Islam dari pusat pemerintahan, dan mengganti nama sehingga tidak menggunakan istilah Assultaniah (yang berarti: Resmi bersifat kesultanan) ini merupakan bagian dari "episode marjinalisasi" atau usaha untuk meminggirkan pendidikan Islam di Kota Sambas? Bukankah bisa saja pada waktu itu pendidikan diadakan di dua lokasi,lokasi asal di pusat pemerintahan untuk kelas lanjutan, dan lokasi pengembangan untuk kelas-kelas awal, sehingga dengan demikian pula tidak ada kepentingan untuk merubah nama yang menunjukkan legalitas dan kekuatannya itu.

6. Lihat lah komposisi rencana pelajaran di Tarbijatul Islam. Bukankah sudah sangat modern pada saat itu jika dibanding dengan sekolah-sekolah agama lainnya ? Hatta di seluruh Indonesia baru ada beberapa dengan konsep yang sama, yaitu suatu kolaborasi antara pendidikan Agama Islam dan pendidikan umum, bahasa sekarang kolaborasi antara IMTAQ dan IPTEK. 

Jadi tidak berlebihan bahwa Madrasah Sultaniyah atau Sekolah Tarbiyah sudah setara dengan Perguruan Muhammadijah saat itu atau Pondok Modern Darussalam Gontor yang berumur kira-kira sama.

Di dalam sebuah tulisan yang berjudul Masjid Jami' Sulthan M. Tsafiuddin II sebagai tempat Ibadah dan Pusat Dakwah, ditulis oleh Bapak Drs. Aminuddin Hardigaluh tahun 2007, dijelaskan bahwa telah diadakan penyempurnaan kurikulum serta penambahan tenaga pengajar yang berkualitas. Beberapa guru didatangkan dari luar Sambas di antaranya  Ahmad Suko dari Yogyakarta, Nuriyahman dari Solo, Zaini Arief dari Padang, Abdul Rahman Umri dari Aceh. Mereka dengan tekun aktif mengajar di madrasah Tarbiyatul Islam Sambas melengkapi guru-guru yang berasal dari Sambas sendiri.
7. Pada akhirnya Tarbijatul Islam sendiri, menurut Bapak Drs. Aminuddin Hardigaluh pada tulisan yang sama, sejak tahun 1965 Madrasah Tarbiyatul Islam Sambas berubah statusnya menjadi Sekolah Dasar Bersubsidi yang berdampak pelajaran agama menjadi jauh berkurang. 

Admin mengira lebih daripada itu, bukan hanya pelajaran agama yang jauh berkurang, namun sengaja atau tidak Madrasah Tarbiyah pada saat itu sedang "dikerdilkan".

Coba bandingkan dengan seksama antara rencana tahun 1953 seperti yang dinukil di atas dengan apa yang real terjadi sekarang.
- Tarbijatul Islam menerima siswa tamatan SR 5 atau 6 tahun, jadi Tarbijatul Islam adalah sekolah menengah Kejuruan vak Agama Islam selama 6 tahun (setara jenjang SMP sampai SMA), dengan demikian tamatannya setara dengan tamatan SMA/SMK/Madrasah Aliyah sekarang. 
- Bedakan dengan SDS (Sekolah Dasar Subsidi) Tarbiyatul Islam, hanyalah sekadar sebuah Sekolah Dasar yang menerima siswa-siswa umur sekolah dasar, dan tamatannya hanya sederajat SD saja. 

Pertanyaan mendasar kedua : Apakah ini bagian dari sebuah "episode pengkerdilan" pendidikan Islam di kota Sambas?

Bung Karno bilang : JAS MERAH : jangan sekali-kali melupakan sejarah.
Ya, inilah sejarah, disinyalir hal-hal di atas adalah sebagai bagian dari upaya me-marginal-kan dan mengkerdilkan maju dan pesatnya pendidikan keislaman yang dulu pernah ada di daerahku tercinta ini. 

Tidakkah ada yang rindu akan keberadaannya? Tidakkah ada yang cemburu dengan ketiadaannya? Ini semua telahpun terjadi.

Namun "nasi belum sepenuhnya menjadi bubur". Mesti ada upaya penyelamatan terhadap Madrasah Perguruan Islam (Assultaniah) atau setidaknya Tarbijatul Islam. Perlu adanya upaya REVITALISASI padanya.

Tidakkah ada yang merasa terpanggil untuk merevitalisasinya ? 

Namun yang menjadi catatan penting, bahwa :
1. Madrasah Sultaniah atau Sekolah Tarbiyah adalah milik warga Sambas seluruhnya, bukan milik sekelompok orang, atau suatu desa, bahkan ia adalah salah satu warisan Istana Kesultanan Sambas, dan juga milik dari Pemerintah Daerah Kabupaten Sambas. Jadi semua harus merasa memiliki, sehingga merasa terpanggil, merapatkan barisan, dan kompak untuk merevitalisasinya. 
Toh nantinya, keberhasilan merevitalisasinya akan berdampak positif untuk perbaikan akhlak terutama untuk tunas-tunas muda Sambas.

2. Yang menjadi tim revitalisasi, bukan hanya orang-orang yang dianggap tokoh masyarakat atau tokoh agama saja, namun lebih dari itu, mereka dipersyaratkan untuk profesional dalam keilmuan keislaman, dan sekaligus manajemen pendidikan.

Ayo siapa yang bisa??? feet and proper test dulu dong.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar