Teori Dialektika Peran Pemuda

Sambas, Sabtu, 26 Januari 2013
by SAMBAS INDEPENDEN


Dialektika terdiri dari tesis, antitesis, dan sintesis. Tesis artinya keadaan yang ada. Antitesis artinya keadaan yang seharusnya ada, dan berkebalikan dari tesis (keadaan yang ada). Sintesis artinya cara untuk merubah tesis menjadi antitesis, "yang ada" menjadi "yang seharusnya ada".

Berikut adalah sekelumit dialektika peran pemuda.


Bagian I. Tesis

Di dalam kegiatan kemasyarakatan dan keagamaan, acapkali peran pemuda itu dipinggirkan. Masih saja ada dan bahkan mayoritas dari masyarakat masih percaya pada "mitos" bahwasanya yang tua selalu di pihak yang benar, tanpa memberi sebuah kesempatan kepada pemuda-pemuda berbakat dan bertalenta tinggi untuk berkarya.

Tak terkecuali dalam tatanan kehidupan masyarakat di negeri-negeri Melayu, peran pemuda masih amat kecil dibanding peran orang-orang tua, dan seandainya pun ada, masih minim sekali, dan ternilai bahwa pemuda itu diberikan peran-peran yang bersifat tenaga kasar dan bukan peran-peran yang bersifat pikiran.

Pada kondisi ini, kalangan pemuda terbagi menjadi dua kelompok. Pertama yang seratus persen pro dengan ideologi kelompok tua. Kedua yang sedikit-sebanyak kontra dengan ide kelompok tua.

Kelompok pemuda pertama, yang seratus persen pro, akan mendapatkan tempat dalam hati kelompok tua dan sistem yang dibangun oleh mereka. Tetapi terkadang sebagian dari kelompok tua pun sedikit jengkel dengan mereka karena cepat sekali karir dan peran mereka. Ini hanya minoritas dari kalangan pemuda, dan kelompok ini kita katakan tidak mewakili keadaan pemuda sesungguhnya yang umumnya punya idealisme tinggi.

Kelompok pemuda kedua, yang berbeda dengan ideologi kelompok tua sedikit-sebanyaknya, mereka ini mewakili kategori pemuda, sebab mereka ini umumnya punya semangat tinggi dalam perjuangan, punya idealisme. Terhadap kelompok pemuda sejati ini, kaum tua bersifat defensif -bertahan-, dan terkadang bersifat agresif dan menyerang. Kondisi seperti ini membuat kelompok muda jemu, jenuh menunggu, kapan mereka itu diikutkan dan diajak untuk berpartisipasi, ikut memberikan kontribusi terhadap perjuangan ini. Apalagi jika untuk diapresiasi -diberi penghargaan- dalam karya mereka, jauh panggang dari api. 

Kejemuan itu membuat mereka lemah dan kurus semangat. Ada pula yang membuat mereka sampai frustasi. Hanya segelintir dari pemuda yang sanggup konsisten dengan yang namanya perjuangan setelah mereka itu dipinggirkan.

Kondisi ini pula, bagi pemuda yang masih berkobar-kobar semangat idealisnya, membuat mereka berontak tanpa etika kepada kaum tua. Ini semakin menambah runyam suasana.

Kalau sudah hal ini terjadi, tidak ada progress dan kemajuan di suatu masyarakat. Miss comunication antara si tua dan si muda.



Bagian II. Antitesis

Dinamika masyarakat memang beragam. Kita akui si tua jelas lebih banyak "makan asam garam" dari kehidupan ini, namun boleh jadi si muda itu lebih punya wawasan dibanding si tua, lebih berilmu dari mereka. Ini dikarenakan sistem pendidikan dan informasi yang semakin modern. Si tua kalah  pengetahuan dan informasi dari si muda, sebab si muda pegang komputer dan internet, si tua tidak. Yang lebih tragis lagi, mereka disuruh oleh si tua sekolah jauh-jauh dan tinggi-tinggi, bahkan sampai ke luar negeri, lengkap dengan segala fasilitas yang memungkinkan mereka meraih pengetahuan sebanyak-banyaknya, namun giliran mereka pulang untuk mengaplikasikan pengetahuan yang dimilikinya, mereka ditekan, mereka dipinggirkan. Ironis memang.

Namun di bawah tekanan seperti ini, sebagian pemuda ada mampu dan berhasil berkarya, tapi apa tanggapan dari yang tua? Ternyata yang tua tidak bergeming, diam seribu bahasa, tidak memberi sedikit pun apresiasi dan penghargaan kepada pemuda akan karya mereka. Sebaliknya giliran pemuda keliru sedikit, maklum saja namanya pemuda, dan sudah jadi sifat dasar manusia yang sering keliru, yang tua kompak seia-sekata langsung memboikot peran mereka, pemuda dicerca dicela habis-habisan.


Seharusnya yang terjadi, si tua harus lah fair dan adil dalam hal ini. Jangan lah hanya ada beberapa perbedaan ide yang muncul dari pikiran si tua dan si muda, lalu si tua menggunakan "hak istimewa"nya memaksakan idenya untuk bisa diterima. Terkadang pula hanya atas dasar gengsi saja, kalah gengsi karena kalah cerdas dengan si muda, si tua jadi meradang, dan membenci mereka.

Si tua haruslah yakin, bahwa hanya waktu yang membedakan mereka dengan si muda. Mereka lebih dulu lahir dari si muda. Mereka lebih banyak angka usianya. Mereka lebih dekat kepada "liang lahd" dari si muda.

Adapun masalah isi dan inti si tua belum tentu lebih "tua" dari si muda.



Bagian III.  Sintesis

Si tua harus lah membuka diri dari si muda. Si tua hendaklah ingat, ketika dulu si muda mereka kirim jauh-jauh dan tinggi-tinggi hanya untuk belajar lengkap dengan fasilitasnya. Kini ketika mereka kembali terimalah mereka dengan suka cita dan penuh harapan.

Biarkan lah para pemuda itu berkreasi. Beri lah ruang bagi mereka untuk bergerak. Beri lah semangat bagi mereka untuk berkarya. Beri lah mereka apresiasi/penghargaan dan hadiah dalam karya mereka. Bukan kah telah diakui tiga slogan pendidikan di negeri ini. Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. Yang berada di depan memberikan contoh-teladan, yang berada di tengah memberikan semangat, dan yang berada di belakang memberikan dorongan.

Si muda pun juga jangan seenaknya ketika pulang. Jangan karena pengetahuan yang mereka punya membutakan mata hati mereka untuk beretika kepada si tua. Berjalan dan bertindak petantang-petenteng. Hormati mereka, hargai mereka. Si muda harus sedikit kalah untuk menang besar.

Pemuda hendaknya menyampaikan kebenaran jika memang ada di pihak mereka dengan penuh rasa santun, tidak tergesa-gesa, sebab tergesa-gesa itu dari syaithan belaka yang berakibat bencana.

Atau mungkin mesti ada, angkatan setengah tua setengah muda yang dapat menjadi jembatan penghubung, menjadi mediator, antara si tua dan si muda. Tugasnya adalah ke dua arah itu, ke si tua dan ke si muda.

Kita bisa ambil faidah dari perlombaan lari estafet. Ada empat orang pelari yang silih berganti memegang sebuah tongkat. Yang pertama haruslah baik startnya ketika ditembakkan pistol tanda bermula perlombaan, jangan sampai kalah. Yang kedua dan ketiga haruslah melanjutkan perjuangan yang pertama berlari sekencang-kencangnya, kejar ketertinggalan jika bisa. Yang keempat, sebagai klimaksnya, yakni haruslah bisa berlari sampai pada garis finish dengan meraih kemenangan.

Kesalahan satu adalah kesalahan lainnya. Ketertinggalan satu adalah ketertinggalan lainnya. Kemenangan satu adalah kemenangan lainnya. Kehebatan satu adalah kehebatan lainnya.

Semoga "pelari-pelari" dari negeri Sambas menang dalam "Olympiade" nantinya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar